Dalam sebuah pertandingan, tak seorangpun menyukai kekalahan. Di dunia politikpun demikian, semuanya ingin agar jagoannya menang. Mungkin sobat Generaksi pernah ngerasain betapa “nyesek-nya” ketika jagoan politikmu pada ajang pilpres ataupun pilkada kalah. Beban kecewa tersebut terkadang harus diperberat dengan olok-olok dari kompetitor kita. “Kubu sebelah ada yang kejang-kejang, bentar lagi kena stroke”. Padahal dunia olah raga telah mengajarkan pentingnya bersikap sportif. Di akhir pertandingan tinju, setelah wasit mengangkat tangan si pemenang pertandingan, kedua petinju berpelukan. Tak perlu membebani pihak yang kalah dengan kalimat negatif.
Dalam falsafah Jawa, terdapat ungkapan “Sugih tanpa Bandha, Digdaya tanpa Aji, Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake”. Istilah Menang tanpa Ngasorake secara harafiah bisa diartikan sebagai “Menang tanpa merendahkan”, yang secara mendalam bisa dimaknai sebagai “Kita bisa tetap menang tanpa harus merendahkan pihak lawan”. Sebuah falsafah kearifan lokal yang sangat luhur dan relevan untuk diterapkan pada jaman ini.
Menurut laman psychologytoday.com, Dr. Andrew Newberg, M.D. dan Mark Robert Waldman menyatakan bahwa penggunaan perkataan negatif bisa berdampak buruk bagi otak dan kesehatan kita. Ketika otak dipindai dibawah alat FMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging), ternyata hanya karena seseorang mendengar kata “Tidak!”, otak akan langsung melepaskan lusinan hormon penghasil stress dan neurotransmitter. Bahkan, hanya melihat daftar kata-kata negatif beberpa detik, akan membuat mereka sangat cemas ataupun merasa lebih buruk. Semakin direnungkan, struktur kalimat yang buruk akan semakin merusak pembacanya.
Bagaimana dengan berita-berita politik yang kamu baca di media sosial? Portal berita formal memiliki aturan yang baku dalam mengemas berita. Mereka harus menggunakan kalimat yang sopan, berimbang dan tidak mendiskreditkan pihak manapun. Ironisnya, justru komentar netizen yang sering tak terkontrol. Makian, umpatan, dan kata-kata kasar sering menyertai sebuah berita politik. Bahkan oknum netizen tertentu sengaja bergabung dengan grup pendukung rival politiknya yang ternyata tujuannya semata-mata hanya untuk membuat grup rival politiknya jengkel dengan unggahannya yang provokatif.
Setelah pilpres, bahkan setelah presiden terpilih dilantik, media sosial akan penuh berita politik yang bisa “digoreng” untuk mendukung ataupun menyerang politisi tertentu. Sebagai generasi yang peduli persatuan bangsa, kita bisa meminimalisir kalimat negatif di media sosial. Hindarilah kata-kata negatif seperti “Mampus loe!”, “Kubu sebelah kebakaran jenggot”, “Dasar Cebong/Kampret!” ataupun kalimat negatif yang lain. Meski pihak rival kita tetap melakukannya, kita tak harus menjadi sama seperti mereka. Sebaliknya, komentar simpatik, seharusnya justru akan membuat lawan semakin respect pada kalian.
A bad wound heals, a bad word doesn’t”
– PEPATAH PERSIA –